Golden Eye Lady Blog

Live My Life

3.2.12

Jokowi dan Solo

Jokowi itu,,,
Joko Widodo atau yang akrab disapa Jokowi memang bukan sekadar Walikota biasa. Ide-idenya yang menakjubkan membuat namanya semakin dikenal. Bukan karena statusnya sebagai Walikota Surakarta atau yang dikenal dengan Kota Solo, tetapi karena dedikasinya sebagai pelayan masyarakat.

Kepala Daerah satu ini kabarnya tidak pernah mengambil gajinya sendiri. Ketika dikonfirmasi dia hanya tersenyum dan tertawa sambil berkelit, "Pasti yang ngomong sekretaris saya ha ha ha," ujarnya kala itu. Tetapi pemilik usaha kayu ini tidak menyangkal kabar tersebut.

Foto ini diambil ketika Jokowi menyusuri Jalan Slamet Riyadi bersama Wakil Walikota Surakarta FX Hadi Rudyatmo dalam momentum Solo Car Free Night. Di tengah perjalanan, Jokowi dielu-elukan masyarakat Solo dan sekitarnya yang hadir di Solo Car Free Night.

Diantara riuhnya suara sorakan, tertangkap kalimat "Jokowi-Rudy punya Wong Solo, Jokowi-Rudy untuk rakyat Solo." Hmmm,,, ini bukan kampanye atau pencitraan, tentu saja bukan. Ini hanya kekaguman saya pada sosok seorang Jokowi yang telah mengubah Solo menjadi Solo yang begitu cantik seperti sekarang ini.

1.2.12

Ngalap Berkah

Satu apem rame-rame ya!
Puluhan ribu orang berebut kue apem dalam ritual Yaqowiyu yang dilangsungkan di Jatinom, Klaten setiap hari Jumat setelah tanggal 15 Jawa bulan Sapar. Apem yang diperebutkan dalam prosesi sebaran apem dipercaya membawa berkah.

Pasar Cokrokembang

Jadi ini desainnya?
Pasar Cokrokembang merupakan satu dari sepuluh pasar tradisional percontohan yang digarap oleh Kementerian Perdagangan RI tahun 2011. Alokasi dana untuk revitalisasi Pasar Cokrokembang yang berlokasi di Kecamatan Polanharjo, Klaten ini adalah sebesar Rp 9 miliar. Pasar dengan luas sekitar 9 ribu meter persegi ini mulai direvitalisasi pada Juli 2011, selesai November 2011 dan diresmikan pada Januari 2012 oleh Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan. Pada tahun 2012, Kementerian Perdagangan kembali mengusung proyek pasar tradisional percontohan. Kali ini jumlah pasar yang akan direvitalisasi adalah 20 pasar tradisional yang tersebar di Indonesia.

Horeeee,,, Bisa Mainan Pake Laptop

Hore, Aku Dapat Laptop!


Sebanyak 281 siswa tidak mampu dari 10 Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) Solo menerima bantuan laptop. Laptop bermerek Sirion Esemka yang merupakan rakitan anak-anak SMK di Solo. Total dana yang dialokasikan Rp 854.250.000,- bersumber dari APBD Perubahan 2011.

7.1.12

Merapi dan Paryati



Mulai Hijau
Hal yang paling kuingat saat bermain ke Merapi, tepatnya di Desa Balerante, adalah seorang wanita bernama Paryati (35). Wanita berkulit hitam terpanggang sinar matahari itu melihat dengan sinis ketika aku mendekati rumahnya. Saat itu dia sedang memasak di depan rumahnya yang berupa shelter.

Seperti biasa, aku memulai perbincangan dengan obrolan-obrolan ringan seputar kondisi sekitar kami saat itu. Tanpa disangka, Paryati langsung to the point. “Sampeyan ini wartawan mau apa? Tanya-tanya terus. Mondar-mandir ke sana ke sini. Tanya sana tanya sini. Tapi tidak ada apa-apanya. Memberi bantuan juga tidak,” serang Paryati.

Sedikit terkejut dengan respon dari Paryati, dengan cepat aku tenangkan diri. Setidaknya, aku menangkap maksudnya. Dia mempertanyakan, kenapa wartawan begitu mengganggunya padahal mereka tidak memberikan kontribusi apa-apa. Setengah menahan mangkel, aku pun menjawab, “Saya ke sini mau tanya-tanya. Saya kan wartawan,” ujarku pura-pura bingung.

Pemandangan Dari Rumah Paryati
Lucunya, Paryati tidak mengusirku. Tetapi dia malah curhat tentang kondisi warga di sana dan terutama kehidupannya. Kekurangan air menjadi satu hal yang paling dikeluhkan oleh Paryati. Setiap hari, Paryati yang tidak punya banyak simpanan uang seperti tetanga-tetangganya yang lain harus turun ke Bumi Perkemahan Kepurun yang berjarak sekitar 10 kilometer untuk mengambil air.

Pilihan itu diambil oleh Paryati karena membeli air di atas, di Balerante, saat ada tangki air yang lewat sangatlah mahal bagi Paryati. Rp 120 ribu-Rp 150 ribu pertangkinya berisi 5000 liter. Ketika mengambil air di Kepurun, Paryati sebenarnya tidak gratis karena harus mengeluarkan ongkos bensin Rp 10 ribu karena harus bolak-balik beberapa kali.

Di tengah keluh kesahnya, Paryati menawariku tales rebus, makanan khas daerah pegunungan. Aku tidak tega mengambilnya karena kulihat hanya ada beberapa butir saja di dalam panci. Aku pun berbohong dan mengatakan kalau aku puasa. Padahal hari itu hari Rabu.  

Hmmm, penyesalan terdalamku adalah aku tidak memotret Paryati, karena dia memang tidak bersedia dipotret. Aku langsung diusir waktu mengeluarkan kamera. Benar-benar wanita yang unik. Belum apa-apa sudah marah-marah, lalu mengajak cerita, menawari makan, dan terakhir mengusir. Kenangan yang tidak akan pernah terlupa.

Becak si Penguasa Jalanan


Sebuah mobil mewah yang konon kabarnya berharga 1 miliar berjalan dengan sangat lambat di salah satu lajur jalan. Apa ada yang salah dengan mesin mobil yang terlihat sangat terawat itu? Mungkin. Tetapi tentu saja hal itu kurang meyakinkan. Setelah dicermati, terlihat seorang bapak tua mengayuh becak dengan santainya tepat di tengah lajur jalan. 

Becak
Semua jadi masuk akal sekarang. Mobil itu tidak rusak, tentu saja tidak karena tampak sangat terawat. Becak itulah yang “mengajak” mobil itu untuk berjalan lambat, tepatnya, semua yang berada di belakang becak itu untuk berjalan lambat.

Aku tidak akan menyalahkan siapapun dalam hal ini. Tidak ada yang salah. Karena ketika aku menyebut ada satu pihak yang salah, tentunya akan ada protes dari pihak yang tidak terima dijadikan tersangka sendirian. Semuanya saling berkaitan.

Curhat. Hanya itu alasan di balik tulisan ini. Setiap pagi, mengekor di belakang becak sudah menjadi sarapan “wajib”. Sulit untuk berganti rute, karena rute yang aku lewati setiap pagi adalah rute terbaik dalam arti jarak. Akhirnya, tersendat karena mengekor di belakang becak harus saya terima. Seharusnya tanpa banyak protes.

Gerah juga sebenarnya. Tapi para pengemudi becak itu sama sepertiku. Mereka mencari nafkah untuk hidup. Tidak hanya untuk mereka sendiri, tetapi juga untuk anak dan istri mereka. Berat menerima fakta kalau sebenarnya penguasa jalanan yang sebenarnya adalah becak. Kenyataan memang terkadang pahit.

New World

Lingkungan baru. Bukanlah hal yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Sekalipun lingkungan itu bukan hal yang sepenuhnya baru bagi kita. Itulah yang saat ini aku alami. Sejak kantorku yang lama melakukan merger, aku ditarik ke desk yang baru di wilayah yang baru dengan jenis liputan yang sama sekali baru pula.

Tiga minggu aku bertahan di sana. Aku resign dari kantor yang seakan menjadi kawah Candradimuka untukku itu. Ketika itu, aku sudah memiliki kantor baru yang kutuju di Kota Solo. Instansi yang masih terhitung new comer. Selain itu, aku memang harus keluar karena orang yang kugadang-gadang menjadi suamiku bekerja di kantor yang sama.

Terbiasa bekerja ekstra keras dengan tuntutan tinggi, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas membuatku mudah beradaptasi dengan instansi baru ini. Rasanya seperti berlibur. Sehari, dua hari, dan tiga hari, aku beradaptasi dengan mudah di instansi media online ini.
 
Di luar dugaan, seorang redaktur dari kantor lama menelponku, pada Sabtu, 3 Des 2011. Saat itu sekitar pukul 09.00 am. Dia menanyakan apakah aku benar-benar tidak akan kembali lagi ke kantor lama? Adakah kemungkinan untuk merubah pendirianku? Dan kuberi jawaban tegas, “Tidak.”  Kupikir dia akan menutup telepon karena jawaban yang kuberikan.

Ternyata dia melanjutkan dengan sebuah tawaran untuk bergabung dengan sebuah instansi media raksasa yang tidak berani kubayangkan akan kumasuki lamaran. Tidak pernah sekalipun terpikir untuk mencari nama media tersebut di laman job vacancy. Setengah tidak percaya kuiyakan tawaran itu sambil merenung apa mungkin aku bisa memberikan kinerja sesuai standar mereka. Telepon ditutup.

Sekitar pukul 1.00 pm seorang wanita yang mengaku berasal dari instansi media raksasa itu menelponku. Dia menyuruhku mengirim curriculum vitae. Dengan penuh semangat kukirim cv itu. Hanya ada respon berupa sms “Terimakasih,” usai aku memberi kabar kalau cv telah kukirim. Detik-detik mendebarkan dimulai. Seperti tidak sanggup “berpisah” terlalu lama dengan kedua telepon genggamku selama seharian itu.

Tetapi hingga hari Sabtu berakhir dan digantikan dengan hari Minggu yang juga berlalu dengan cepat tidak ada telpon tindak lanjut dari instansi itu. Aku pun menghibur diri bahwa mungkin belum rejekiku. Kalau memang sudah rejeki tentunya tidak akan lari kemana. Tak kan lari gunung dikejar semacam itu mungkin istilahnya.

Dan, Senin. Di tengah perjalanan dari Klaten menuju Solo aku ditelpon oleh wanita yang sama yang langsung menyuruhku liputan untuk instansi media raksasa itu. Pada hari itu juga. Kaget dan tidak percaya sekaligus bingung. Aku akhirnya bergabung dengan media itu lalu apa yang harus kuliput? Aku tidak tahu apa-apa tentang Solo. Semuanya masih baru. Aku belum genap sepekan di sini. Dan desk-ku di media online tempatku (masih) bekerja saat itu adalah seni dan budaya.

Tanpa banyak berpikir aku langsung menuju Balai Kota. Dan syukurlah, hari pertama berlalu dengan lancar. Semuanya begitu mudah. Berita pertama yang kukirim pun langsung tayang. Baik online maupun cetak. Skenario Gusti Allah memang yang terbaik.  

Sekarang, ketika aku telah genap sebulan (lebih) bekerja untuk media raksasa berbahasa Inggris ini, ada tantangan baru yang menungguku. Lingkungan baru. Sekali lagi, lingkungan baru. Aku masih belum bisa beradaptasi dengan cara berkomunikasi di antara teman-teman baruku di Solo ini. Sindiran yang menyakitkan hati mereka gunakan sebagai “bahasa pertemanan” sehari-hari.

Entah aku menjadi bahan sindiran mereka atau tidak, aku tidak mau ambil pusing. Tetapi aku juga tidak akan memaksa diri untuk menjadi seperti mereka hanya untuk bisa diterima oleh mereka. Aku akan tetap menjadi tiku yang memiliki selera humor sendiri dan bukan selera humor yang sarkastis.

Biarlah aku dianggap sombong. Aku memang tidak pernah menanggapi sindirian-sindiran mereka yang aku tidak tahu pasti siapa sebenarnya yang sedang disindir, bisa saja aku. Aku hanya diam ketika mereka memulai “budaya” itu. Tetapi yang harus mereka sadari, meski aku tidak mau tahu dan tidak mau bergabung saat budaya sindir-menyindir itu berlangsung, aku tidak pernah antipasti terhadap mereka dan aku tidak pernah memiliki rasa benci.

Dan mereka juga harus ingat, bahwa aku juga tidak pernah balik menyindir dan menyakiti hati mereka meski terkadang aku merasa yakin kalau akulah obyek sindiran mereka. Semoga Tuhan senantiasa mengampuniku dan memberikan pengampunan kepada mereka karena sepertinya sulit untuk menyadarkan mereka sekalipun itu sebatas harapan. Amin.