Golden Eye Lady Blog

Live My Life

22.8.11

Keluhan Membawa Sengsara


Jalan hidup memang sebuah misteri. Kejadian demi kejadian, yang indah dan juga yang buruk datang silih berganti. Ketika datang kejadian yang indah, tidak terkira senyum yang merekah dari bibir kita, rasa syukur yang mengalir tanpa henti. Tetapi bisakah kita melakukan hal yang sama saat kejadian buruk datang menimpa?
“Di setiap hal yang terjadi pasti ada hikmahnya.”
Kalimat yang sangat tidak asing. Tetapi saya kurang setuju jika kata “pasti” masuk di dalamnya. Mungkin saya lebih suka menggantinya dengan Inshallah yang artian bebasnya dengan ijin Allah. Karena tanpa ijinnya, belum tentu semua orang bisa mendapatkan dan mengerti hikmah dari kejadian (baik atau buruk) yang datang padanya.
Saya bukan seorang ahli tafsir, bukan pula seorang prosefor, seorang ahli atau apapun yang berhak membuat penyimpulan atas ilmu-ilmu baru. Saya hanya seorang manusia biasa yang ingin berpendapat. Pendapat yang hanya saya dasari dengan pengalaman semata. Dan itupun pengalaman pribadi.
“Semua akan indah pada waktunya.”
Kalimat ini menjadi tiang penyemangat saya ketika asa ini hampir meredup. Keyakinan bahwa ‘di balik kesulitan akan ada kemudahan’ dan ini menopang saya hingga saya bisa benar-benar bangkit dari keterpurukan. Allah selalu menepati janji. Inilah yang akhirnya membuat saya malu untuk bersorak berlebihan ketika kegembiraan datang dan meratap penuh duka ketika badai menerpa.
Segala hal yang terjadi memiliki alasan. Dan pada saat itu terjadi, kita mungkin belum bisa menemukan ‘kenapa bisa begitu? Kenapa harus aku?’ dan seterusnya. Waktu yang diperlukan untuk memahami alasan itupun berbeda-beda pada setiap orang. Tidak sedikit yang langsung mendapatkan pencerahan, tetapi banyak yang menyadarinya setelah lama berselang. Dan saya masuk dalam golongan yang disebut belakangan.
Saya pernah terpuruk, hingga merasa bahwa saya sudah hancur. Dan masalah ini sulit diselesaikan karena manyangkut masalah hati. Begitu berat, hingga akhirnya saya setuju dengan syair lagu ‘lebih baik sakit gigi daripada sakit hati’.
Satu bulan lebih saya tidak bisa makan. Seandainya bisa memasukkan makanan ke dalam tubuh, saya tidak yakin makanan itu benar-benar tercerna karena beberapa saat setelahnya saya muntahkan lagi. Hanya mengingat, mendengar, atau sekedar terpikir sekelebat bayangan tentang hal itu sudah membuat jantung berdegup tidak karuan, dan perut langsung ikut-ikutan mual. Begitu terus selama satu bulan lebih. Parahnya, ingatan itu datang hampir setiap saat, setiap jam, setiap menit, bahkan detik.
Menangis, meratap, dan mengiba pada nasib saya lakukan. Bahkan parahnya, saya sempat merasa begitu marah dengan Allah. Saya merasa sebagai ‘korban’ yang tidak punya kesempatan sedikitpun untuk mereguk kemenangan. Sampai akhirnya, kesadaran itu datang. Tidak ada gunanya menangisi dan meratapi yang sudah terjadi. Saya pun bangkit dan melanjutkan hidupku tanpa mempedulikan kenapa semua kejadian itu menimpaku, meskipun dalam hati saya masih terus mencari alasannya.
Beberapa bulan kemudian, baru saya merasa menemukan jawabannya. Tirai itu seperti mendadak disibakkan oleh tangan-tangan yang tidak terlihat. Tanpa sadar, sebuah kalimat kuucapkan. ‘Jika ini alasannya, maka semua rasa sakit itu sangat setimpal,’ ucapku kala itu. Air mata ketakjuban pun menetes.
Allah Maha Pengasih dan Penyayang, Dia tidak akan menyakiti umat-Nya. Semua itu hanya sebuah proses kehidupan yang harus dilalui. Dan di dalam proses inilah kita akan belajar menghargai kehidupan. Mengeluh hanya akan membuat kita semakin terpuruk dan menutup mata kita atas rencana-rencana indah dari-Nya yang membentang di hadapan kita.



No comments:

Post a Comment