Golden Eye Lady Blog

Live My Life

7.1.12

Merapi dan Paryati



Mulai Hijau
Hal yang paling kuingat saat bermain ke Merapi, tepatnya di Desa Balerante, adalah seorang wanita bernama Paryati (35). Wanita berkulit hitam terpanggang sinar matahari itu melihat dengan sinis ketika aku mendekati rumahnya. Saat itu dia sedang memasak di depan rumahnya yang berupa shelter.

Seperti biasa, aku memulai perbincangan dengan obrolan-obrolan ringan seputar kondisi sekitar kami saat itu. Tanpa disangka, Paryati langsung to the point. “Sampeyan ini wartawan mau apa? Tanya-tanya terus. Mondar-mandir ke sana ke sini. Tanya sana tanya sini. Tapi tidak ada apa-apanya. Memberi bantuan juga tidak,” serang Paryati.

Sedikit terkejut dengan respon dari Paryati, dengan cepat aku tenangkan diri. Setidaknya, aku menangkap maksudnya. Dia mempertanyakan, kenapa wartawan begitu mengganggunya padahal mereka tidak memberikan kontribusi apa-apa. Setengah menahan mangkel, aku pun menjawab, “Saya ke sini mau tanya-tanya. Saya kan wartawan,” ujarku pura-pura bingung.

Pemandangan Dari Rumah Paryati
Lucunya, Paryati tidak mengusirku. Tetapi dia malah curhat tentang kondisi warga di sana dan terutama kehidupannya. Kekurangan air menjadi satu hal yang paling dikeluhkan oleh Paryati. Setiap hari, Paryati yang tidak punya banyak simpanan uang seperti tetanga-tetangganya yang lain harus turun ke Bumi Perkemahan Kepurun yang berjarak sekitar 10 kilometer untuk mengambil air.

Pilihan itu diambil oleh Paryati karena membeli air di atas, di Balerante, saat ada tangki air yang lewat sangatlah mahal bagi Paryati. Rp 120 ribu-Rp 150 ribu pertangkinya berisi 5000 liter. Ketika mengambil air di Kepurun, Paryati sebenarnya tidak gratis karena harus mengeluarkan ongkos bensin Rp 10 ribu karena harus bolak-balik beberapa kali.

Di tengah keluh kesahnya, Paryati menawariku tales rebus, makanan khas daerah pegunungan. Aku tidak tega mengambilnya karena kulihat hanya ada beberapa butir saja di dalam panci. Aku pun berbohong dan mengatakan kalau aku puasa. Padahal hari itu hari Rabu.  

Hmmm, penyesalan terdalamku adalah aku tidak memotret Paryati, karena dia memang tidak bersedia dipotret. Aku langsung diusir waktu mengeluarkan kamera. Benar-benar wanita yang unik. Belum apa-apa sudah marah-marah, lalu mengajak cerita, menawari makan, dan terakhir mengusir. Kenangan yang tidak akan pernah terlupa.

No comments:

Post a Comment