Golden Eye Lady Blog

Live My Life

7.1.12

New World

Lingkungan baru. Bukanlah hal yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Sekalipun lingkungan itu bukan hal yang sepenuhnya baru bagi kita. Itulah yang saat ini aku alami. Sejak kantorku yang lama melakukan merger, aku ditarik ke desk yang baru di wilayah yang baru dengan jenis liputan yang sama sekali baru pula.

Tiga minggu aku bertahan di sana. Aku resign dari kantor yang seakan menjadi kawah Candradimuka untukku itu. Ketika itu, aku sudah memiliki kantor baru yang kutuju di Kota Solo. Instansi yang masih terhitung new comer. Selain itu, aku memang harus keluar karena orang yang kugadang-gadang menjadi suamiku bekerja di kantor yang sama.

Terbiasa bekerja ekstra keras dengan tuntutan tinggi, baik dalam hal kualitas maupun kuantitas membuatku mudah beradaptasi dengan instansi baru ini. Rasanya seperti berlibur. Sehari, dua hari, dan tiga hari, aku beradaptasi dengan mudah di instansi media online ini.
 
Di luar dugaan, seorang redaktur dari kantor lama menelponku, pada Sabtu, 3 Des 2011. Saat itu sekitar pukul 09.00 am. Dia menanyakan apakah aku benar-benar tidak akan kembali lagi ke kantor lama? Adakah kemungkinan untuk merubah pendirianku? Dan kuberi jawaban tegas, “Tidak.”  Kupikir dia akan menutup telepon karena jawaban yang kuberikan.

Ternyata dia melanjutkan dengan sebuah tawaran untuk bergabung dengan sebuah instansi media raksasa yang tidak berani kubayangkan akan kumasuki lamaran. Tidak pernah sekalipun terpikir untuk mencari nama media tersebut di laman job vacancy. Setengah tidak percaya kuiyakan tawaran itu sambil merenung apa mungkin aku bisa memberikan kinerja sesuai standar mereka. Telepon ditutup.

Sekitar pukul 1.00 pm seorang wanita yang mengaku berasal dari instansi media raksasa itu menelponku. Dia menyuruhku mengirim curriculum vitae. Dengan penuh semangat kukirim cv itu. Hanya ada respon berupa sms “Terimakasih,” usai aku memberi kabar kalau cv telah kukirim. Detik-detik mendebarkan dimulai. Seperti tidak sanggup “berpisah” terlalu lama dengan kedua telepon genggamku selama seharian itu.

Tetapi hingga hari Sabtu berakhir dan digantikan dengan hari Minggu yang juga berlalu dengan cepat tidak ada telpon tindak lanjut dari instansi itu. Aku pun menghibur diri bahwa mungkin belum rejekiku. Kalau memang sudah rejeki tentunya tidak akan lari kemana. Tak kan lari gunung dikejar semacam itu mungkin istilahnya.

Dan, Senin. Di tengah perjalanan dari Klaten menuju Solo aku ditelpon oleh wanita yang sama yang langsung menyuruhku liputan untuk instansi media raksasa itu. Pada hari itu juga. Kaget dan tidak percaya sekaligus bingung. Aku akhirnya bergabung dengan media itu lalu apa yang harus kuliput? Aku tidak tahu apa-apa tentang Solo. Semuanya masih baru. Aku belum genap sepekan di sini. Dan desk-ku di media online tempatku (masih) bekerja saat itu adalah seni dan budaya.

Tanpa banyak berpikir aku langsung menuju Balai Kota. Dan syukurlah, hari pertama berlalu dengan lancar. Semuanya begitu mudah. Berita pertama yang kukirim pun langsung tayang. Baik online maupun cetak. Skenario Gusti Allah memang yang terbaik.  

Sekarang, ketika aku telah genap sebulan (lebih) bekerja untuk media raksasa berbahasa Inggris ini, ada tantangan baru yang menungguku. Lingkungan baru. Sekali lagi, lingkungan baru. Aku masih belum bisa beradaptasi dengan cara berkomunikasi di antara teman-teman baruku di Solo ini. Sindiran yang menyakitkan hati mereka gunakan sebagai “bahasa pertemanan” sehari-hari.

Entah aku menjadi bahan sindiran mereka atau tidak, aku tidak mau ambil pusing. Tetapi aku juga tidak akan memaksa diri untuk menjadi seperti mereka hanya untuk bisa diterima oleh mereka. Aku akan tetap menjadi tiku yang memiliki selera humor sendiri dan bukan selera humor yang sarkastis.

Biarlah aku dianggap sombong. Aku memang tidak pernah menanggapi sindirian-sindiran mereka yang aku tidak tahu pasti siapa sebenarnya yang sedang disindir, bisa saja aku. Aku hanya diam ketika mereka memulai “budaya” itu. Tetapi yang harus mereka sadari, meski aku tidak mau tahu dan tidak mau bergabung saat budaya sindir-menyindir itu berlangsung, aku tidak pernah antipasti terhadap mereka dan aku tidak pernah memiliki rasa benci.

Dan mereka juga harus ingat, bahwa aku juga tidak pernah balik menyindir dan menyakiti hati mereka meski terkadang aku merasa yakin kalau akulah obyek sindiran mereka. Semoga Tuhan senantiasa mengampuniku dan memberikan pengampunan kepada mereka karena sepertinya sulit untuk menyadarkan mereka sekalipun itu sebatas harapan. Amin.

No comments:

Post a Comment