Golden Eye Lady Blog

Live My Life

7.1.12

Tuntutan Kuantitas


Kenyataan pahit yang selama ini coba saya abaikan dalam bidang yang saya tekuni ini ternyata semakin nyata dampaknya dan semakin parah dalam prakteknya. Kuantitas berita menjadi hal utama yang dikejar oleh beberapa institusi media dan menomorduakan kualitas berita. Dalam sedikit kasus, hal ini bisa dipahami. Misalnya mengejar aktualitas berita atau fakta terkini. Tapi dalam banyak hal kebijakan ini menghancurkan kehormatan media, tidak hanya media terkait saja, tetapi atas nama media.

Netralitas. Inilah yang sangat mengganggu saya dalam melihat sajian berita yang “terpaksa” saya konsumsi setiap hari. Menjadi penuh amarah, mengambil kesimpulan tanpa dasar yang kuat, dan merutuki salah satu pihak yang diberitakan padahal belum terbukti kalau pihak itu 100 % bersalah. Dan yang paling sering, paling umum, dan setiap hari selalu ada karena sudah dianggap biasa adalah berita “c*ngk*m*n” atau “c*nt*ng*n” dengan kata lain berita-berita “berbasis omong kosong” yang sangat sering saya temui menjadi Headline bahkan cover story sebuah media.

Berita memang muncul dari sebuah omongan, tetapi nilainya muncul dari data yang disajikan. Seringnya, pemberitaan muncul dalam sajian omongan semata, sedangkan data? Nihil. Lalu apa jaminannya kalau itu adalah fakta?

Beruntung jika omongan yang muncul berasal dari berbagai pihak yang memang sedang dijadikan topik sehingga prinsip keberimbangan terpenuhi. Tetapi yang ada, strategi running, rounds up, lanjutan, dan semacamnya diterapkan. Sehingga, ketika muncul isu yang biasanya dimunculkan oleh pihak yang berkepentingan sudah langsung di blow up dan hebatnya bisa menjadi headline. Padahal, ketika dibaca, belum ada konfirmasi dari pihak yang dipermasalahkan. Hasilnya, tentu saja timpang karena informasi yang disajikan hanya sepotong.

Sering muncul pemikiran, mungkin ini strategi supaya sebuah media ditunggu-tunggu oleh publik. Sehingga ketika ada sebuah bom isu, disajikan satu pihak dulu. Besoknya baru disajikan konfirmasi dari pihak yang dimasalahkan. Mungkin bahasa bebasnya, kalau mau tahu lengkap, silahkan langganan media saya atau cek rutin media saja. Maka anda akan temukan cerita selengkapnya.

Sekali lagi, tuntutan kuantitas. Demi memenuhi kuantitas berita sembari menghadapi kenyataan bahwa hari esok belum tentu ada isu yang menarik, akhirnya praktek ini seakan menjadi budaya. Tapi sadarkah mereka, segala tindak anarki yang terjadi di masyarakat mungkin saja hanya sebuah akibat dari blow up permasalahan yang hanya sepotong?

Dengan mudah pembaca menjadi geram terhadap satu pihak tanpa melihat alasan yang seharusnya dipaparkan oleh pihak yang mereka benci karena blow up media.

Kasus terdekat yang membuat saya sangat penasaran adalah, apa alasan seorang Briptu di Sulawesi itu menyeret seorang anak ke meja hijau hingga si anak sekolah menengah atas ini dituntut hukuman kurungan maksimal 5 tahun. Saya sudah malas sekali mendengarkan blow up tentang masalah ini. Karena saya tidak mendapatkan alasan di balik tindakan Briptu itu menyeret AAL ke pengadilan selain : “Seorang anak 17 tahun dituntut 5 tahun penjara setelah mencuri sandal jepit bekas milik Briptu,,,”

Dimana story behind-nya? Mungkin tidak kalau ini bukan sekedar penyalahgunaan kewenangan? Bagaimana kalau si anak ini sering mengganggu Briptu? Mungkin tidak kalau kasus sandal jepit ini adalah sebuah akumulasi? Seperti apa karakter asli dari AAL? Mungkin tidak kalau dia adalah anak nakal yang berkedok remaja baik-baik?

Kenapa tidak belajar dari kasus PRT terancam hukuman di Arab yang membuat media memojokkan Pemerintah sedemikian rupa. Bagaimana kalau si pembantu ini memang benar-benar “menyebalkan” bagi majikannya? Bagaimana kalau dia sering melalaikan pekerjaannya? Bagaimana kalau dia seakan “tidak berguna” karena kemampuannya sangat minim?

Hasil akhir dari kasus ini, si PRT dibebaskan dengan campur tangan langsung Pemerintah, sedangkan uang yang berhasil dikumpulkan yang sedianya untuk membayar jaminan kebebasan si PRT diberikan kepada PRT yang bersangkutan.

Sayangnya, hanya ada satu media saat itu yang saya lihat memberitakan si PRT pasca dibebaskan secara berkelanjutan. Dilaporkan oleh media tersebut, si PRT menggunakan uang yang dihibahkan kepadanya untuk bermewah-mewah. Selain itu, ada komentar dari tetangganya kalau dia menjadi “sok” yang cenderung pada kesombongan.

Kalau PRT ini benar-benar “selemah dan sepolos” blow up pemberitaan saat dia “bermasalah” tentu dia tidak akan menggunakan uang yang dikumpulkan oleh masyarakat Indonesia untuk kebebasannya tu dengan semena-mena. Dia akan menghormati uang itu dengan menggunakannya untuk menyekolahkan adiknya, melanjutkan sekolah, dan memperbaiki masa depannya. Bukan bermewah-mewah dan menghabiskan uang itu untuk membeli aneka macam gadget serta perhiasan (kabarnya).

Hal ini sangat saya sesalkan karena hal yang sama pernah saya lakukan dan saya berjanji dalam hati tidak akan mudah termakan “nasib malang” seseorang terutama yang ditawarkan secara terang-terangan ke media.

Saat bekerja di media saya yang lama di Jogja, saya memberitakan tentang seorang anak dari keluarga tidak mampu yang menderita hidrocepallus. Kepalanya saat itu belum terlalu besar sebenarnya. Tetapi karena itulah saya menulisnya karena berharap dia masih bisa diselamatkan. Niat saya didengar Tuhan. Seorang dermawan menghubungi saya melalui kantor saya. Dia ingin membantu anak itu melalui saya. Dia pun menitipkan uang untuk transport yang bersangkutan ke rumah sakit di Semarang.

Pada saat saya menyerahkan amplop berisi uang itu, si anak yang di hari sebelumnya diperlakukan seolah tidak berdaya, sangat rapuh, dan sangat dijaga, langsung diturunkan begitu saja dari gendongan. Sementara itu si ibu berjalan (setengah) berlari ke dalam rumahnya untuk membuka amplop dengan ditemani dua orang tetangganya. Sedangkan saya, ditinggalkan begitu saja dengan si kecil yang rebah tidak berdaya.

Setengah jam berlalu, si ibu tidak kunjung keluar, yang terdengar justru seruan-seruan kegirangan. Entah apa yang dia katakan, saya tidak mau tahu karena saya tidak mau lebih sakit hati lagi. Pacarku yang saat itu menemaniku pun langsung mengajakku pulang karena dia tidak ingin aku melihat kenyataan yang lebih pahit lagi ketika ayah si kecil pulang dengan ekspresi wajah kegirangan dan melewati aku juga pacarku begitu saja.

Kuingat dengan jelas, tidak sekalipun ucapan terima kasih terlontar dari bibir mereka selain tatapan tidak berdaya si kecil yang diturunkan begitu saja dari gendongan. Sejak saat itu, aku bertekad untuk tidak mudah termakan “kisah pilu” begitu saja. Tetap harus riset sekalipun kecil-kecilan untuk memutuskan menulis hal-hal apapun yang berbau kepentingan.

Hanya saja, mediaku saat itu seperti tidak mengijinkan aku bertahan dengan tekadku. Seakan tidak ada ruang untuk orang “sok” idealis sepertiku. Tidak ada rasa nyaman lagi di kantorku. Hanya beberapa hari setelahnya aku resign.

Dan syukurlah, media yang “menangkapku” sekarang justru mengharuskan aku untuk mencari tahu story di balik berita sebelum menulisnya. Jangan sampai aku menjadi alat dari pihak-pihak pemilik kepentingan. Kejujuran dan prinsip keberimbangan menjadi kata kunci dari berita yang cukup kubuat satu saja setiap hari. Fokus dan terarah. Itu nilai lebih dari tidak adanya tuntutan kuantitas yang berlebihan.


No comments:

Post a Comment